Pengamat Politik: Rumit Menentukan Capres Bila KIB-KKIR Bergabung

Jakarta – Muncul wacana penggabungan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Pengamat politik menilai gabungan koalisi itu lebih rumit menentukan calon presiden (capres) dibandingkan dengan koalisi NasDem.

“Iya (lebih rumit), banyak gajah yang ikut bermain di gelanggang,” kata Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam, saat dihubungi, Sabtu (11/2/2023).

Seperti diketahui, KIB berisikan Golkar, PAN, PAN, dan PPP. Sementara KKIR berisikan Gerindra dan PKB. Sementara, ‘Koalisi Perubahan’ beranggotakan NasDem, PKS dan Demokrat.

Menurut Umam, peleburan KIB dan KKIR, dimungkinkan untuk menghadirkan mesin politik yang lebih besar. Namun, peleburan itu akan dihadapkan pada penentuan Capres dan Cawapres.

“Peleburan itu masih akan dihadapkan pada tantangan penentuan siapa Capres-Cawapres ideal yang hendak ditawarkan pada rakyat. Sebab, efektivitas mesin koalisi akan ditentukan oleh seberapa politically marketable tokoh yang diusung,” katanya.

Diketahui, seluruh anggota KIB dan KKIR adalah partai pendukung pemerintah Presiden Joko Widodo, yang juga kader PDIP. Sementara, PDIP belum menentukan sikap soal koalisi dan capres.

“Skema peleburan KIB dan koalisi Gerindra-PKB lagi-lagi masih akan tersandera oleh sikap politik PDIP yang hingga hari ini masih memilih diam. Namun jika KIB dan Gerindra-PKB punya kepercayaan diri yang lebih untuk menentukan Capres-Cawapresnya tanpa dibayang-bayangi oleh PDIP, maka hal itu akan jauh lebih kompetitif,” katanya.

“Hal itu akan menegaskan independensi partai-partai, yang tidak hanya bisa ‘mendompleng’ ke kader partai lain, sebagaimana disampaikan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri saat Rakernas PDIP pada 10 Januari lalu,” ujarnya.

Menurut Umam, salah satu opsi yang hadir adalah memasangkan Ganjar Pranowo dengan Prabowo Subianto. Ganjar merupakan kader PDIP, sementara Prabowo adalah Ketum Gerindra.

“Ganjar-Prabowo bisa menjadi opsi. Persoalannya, maukah PDIP menggadaikan ‘Golden Ticketnya’ untuk figur yang tidak merepresentasikan kekuatan inti PDIP? Beranikah PDIP berspekulasi dan yakin bahwa gelombang politik itu tidak menghadirkan populisme baru yang bisa mengonsolidasikan kudeta internal kepemimpinan di PDIP, sehingga kepemimpinan PDIP lepas dari trah Soekarno?” ucapnya.

“Semua itu menjadi bahan pertimbangan dan perdebatan selama ini. Terlebih, sosok Ganjar dinilai lebih tidak mudah dikendalikan dibanding Jokowi,” katanya.

Kemudian, opsi selain itu adalah PDIP masuk dan memasangkan Prabowo Puan. Namun, skema ini akan mendapat tantangan di internal koalisi, khususnya oleh Ketum PKB Muhaimin Iskandar(Cak Imin).

“Opsi lainnya agar PDIP chip in di koalisi besar ini, adalah Prabowo-Puan, namun benarkah partai-partai lain termasuk Cak Imin dan PKB akan menerima jika harapan tinggi mereka kemudian dinomorduakan,” ucapnya.

Sebelumnya, Cak Imin dan Airlangga berbicara soal peluang KIB dan KKIR bergabung. Keduanya kompak setuju jika kedua koalisi bergabung.

Mulanya, Airlangga terlebih dahulu ditanyakan soal inisiasi atau ajakan untuk menggabungkan koalisi. Airlangga mengungkap menjawab keduanya mengajak untuk bergabung.

“Dua-duanya mengajak (bergabung). Jadi kalau dua-duanya bergabung, lebih kuat, lebih baik. Dalam politik tidak ada yang tidak bisa dibicarakan,” kata Airlangga saat konferensi pers di Istora Senayan, Jumat (10/2).

Cak Imin lantas ditanyakan terkait respons apabila KIB dan KKIR bersatu. Cak Imin mengatakan semakin banyak barisan koalisi, proses pemilu akan semakin efektif.

“Oh, sangat bagus. Semakin banyak barisan koalisi, semakin efektif proses pemilu, proses pemilu semakin baik,” ungkap Cak Imin.

Menurut Umam, sampai saat ini tidak ada satu bakal capres yang dominan. “Maka, besar kemungkinan peta koalisi akan terdiaspora sesuai dengan agenda kepentingan masing-masing partai,” katanya.

Memasangkan Prabowo dengan Ketum Golkar Airlangga Hartarto, sebagai pemilik suara kedua terbanyak setelah Gerindra di koalisi, pun dinilai tak mudah. Perlu lobi khusus dengan Cak Imin agar pasangan itu terwujud.

“Pasangan Prabowo-Airlangga dimungkinkan terwujud jika PDIP tidak ikut dalam koalisi gabungan, dan Ganjar tidak berani mengambil risiko politik untuk keluar dari bayang-bayang PDIP. Tantangannya, jika Prabowo-Airlangga maju, maka harus ada skema kompensasi tinggi dan proses negosiasi yang alot untuk meyakinkan PKB dan Cak Imin sebagai pemilik basis pemilih loyal segmen Nahdliyyin untuk menerima secara legowo atas kehadiran pasangan tersebut. Jika Cak Imin tidak mampu diyakinkan, PKB berpeluang hengkang,” katanya.

Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno pun menyampaikan pandangan yang sama. Menurutnya, KIB dan KKIR akan sulit menentukan capres karena jumlah anggota koalisi yang banyak.

“Kalau KIB dan KKIR gabung akan jadi koalisi besar dan gemuk. Secara kepartaian terlihat kuat. Pasti bakal banyak nama yang disorong untuk capres. Mislanya Prabowo, Airlannga, Cak Imin, PAN mungkin jagokan Erick (Menteri BUMN) karena belakangan sering terlihat akbran, PPP mungkin usung nama juga. Pastinya akan dinamis,” katanya.

Jika melihat dari kekuatan masing-masing anggota koalisi gabungan, Adi menilai duet Prabowo dan Airlangga mungkin terjadi.

“Untuk posisi capres dan cawapres ukurannya dua hal. Pertama, sosok yang dijagokan pasti yang punya elektabilitas terkuat. Kedua, dari sisi kekuatan partai dengan melihat hasil perolehan Pileg 2019 lalu. Yang lebih mencuat dan mungkin lebih menjagokan duet Prabowo-Airlangga karena memenuhi elektabilitas tinggi dan kekuatan partai,” katanya.

Sumber: Detik Jabar
Leave a Reply

Your email address will not be published.