Pengamat Politik Sebut Duet Prabowo-Ganjar Sulit Terwujud

RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Kontestasi politik tanah air menjelang pemilihan Presiden 2024 terus terjadi. Pelbagai dinamika berubah-ubah. Tak terkecuali di partai koalisi yang sudah terbentuk.

Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerindra, Hasyim Djojohadikusumo menegaskan, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) bukanlah Cawapres untuk Prabowo Subianto.

Benar saja, karena bila Ketum PKB tersebut yang dipilih, maka deklarasi Capres-Cawapres sudah dilakukan tahun lalu.

Hasyim juga terbuka dengan opsi Ganjar Pranowo berpasangan dengan Prabowo, karena kerap kali keduanya hadir bertiga bersama Presiden Jokowi. Namun dengan syarat, bahwa Capres-nya harus Prabowo.

Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Zaenal A Budiyono menilai dari dinamika yang terjadi mungkin ada sinyal Istana akan mendorong Prabowo berpasangan dengan Ganjar.

Itu setidaknya terlihat dari endorse Presiden ke dua nama tersebut. Sementara Presiden tidak melakukannya untuk nama Capres lain, seperti Anies Baswedan atau Puan Maharani.

Ditambah dengan meningkatnya frekuensi kehadiran ketiganya di sejumlah momen, semakin menguatkan dugaan ke arah sana.

Masalahnya, kata Zaenal, Hasyim mensyaratkan Prabowo harus sebagai Capres. Sementara di banyak survei, justru elektabilitas Ganjar yang di atas Prabowo.

“Hal ini akan menjadikan negoisasi berjalan sulit, karena seharusnya jika mengikuti teori cottail effect, maka calon dengan elektabilitas tertinggi, seharusnya yang menjadi Capres. Itu juga yang dilakukan Jokowi di 2014 dan 2019, dimana dua wakilnya kala itu justru lebih senior. Terbukti Jokowi menang mengikuti teori tersebut,” ucap Zaenal.

Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC-ASIA) ini juga berpendapat, sepertinya Hasyim sedang membangun tren baru berupa anti-theory atau langkah yang anti-mainstream.

“Sah-sah saja, namun di banyak kasus, pendekatan seperti itu cenderung akan gagal. Pasalnya dalam pemilu langsung, ketokohan menjadi keniscayaan dan elektabilitas terkadang memang meminggirkan pengalaman, bahkan senioritas,” terangnya.

“Tetapi inilah kenyataannya, fun facts-nya demokrasi, barangkali tidak ideal, namun so far dianggap better than other systems. Oleh karenanya, bila ingin berpasangan dengan Ganjar dan menang (dalam posisi hari ini), Prabowo memang harus legowo menjadi Cawapres,” sambungnya.

Opsi lain, kata Zaenal, Prabowo tetap menjadi Capres dengan menggandeng nama lain di luar Ganjar Pranowo. Mereka harus tokoh yang elektabilitasnya (sebagai Cawapres) mumpuni.

Bahkan, beberapa nama yang bisa dipertimbangkan antara lain Ridwan Kamil dan Khofifah Indar Parawansa. Dalam konteks hari ini, nama RK lebih masuk akal, karena lebih mudah diterima PKB yang sudah lama menjadi teman koalisi.

Sementara Khofifah cenderung akan ditolak oleh Cak Imin cs, karena sejarah di masa lalu.

Bagaimana dengan PKB yang tetap bertahan ingin Cak Imin harus Cawapres untuk Prabowo?

Zaenal menuturkan, hal itu tuntutan yang biasa saja, karena partai mana pun pasti ingin Ketum-nya menjadi Capres atau Cawapres. Namun para politisi itu pada akhirnya cenderung akan bersikap realistis, yang terpenting the end resultnya menang atau ikut gerbong pemenang.

“Tidak realistis kalau politisi bertahan dengan satu posisi yang sudah tahu di posisi itu mereka akan kalah,” tandasnya. (*)

Sumber: Radarbandung.id

Leave a Reply

Your email address will not be published.