Hari PRT Nasional, DPR Didesak Segera Sahkan RUU PPRT

PIKIRAN RAKYAT – Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk segera disahkan. Semakin ditunda, hal itu berarti menunda para PRT untuk terlindungi dari kekerasan dan kemiskinan yang berkelanjutan.

Di Indonesia, berdasarkan data yang diungkapkan Jaringan Advokasi Nasional PRT (Jala PRT), ada sekira 4 juta-5 juta PRT. Mayoritas adalah perempuan yang berasal dari warga miskin dan penopang perekonomian.

Data Jala PRT pada tahun 2023, dari 2.641 kasus kekerasan yang dialami PRT, sebanyak 79 persen menunjukkan bahwa korban tidak bisa menyampaikan situasi kekerasan yang dialaminya. Hal itu karena akses komunikasi yang ditutup, mulai meningkatnya intensitas kekerasan, dan berujung pada situasi korban yang fatal.

“Kami menyesalkan, merasa prihatin atas proses RUU PPRT yang mendesak untuk disahkan, namun DPR terus menunda dan menunda, memposisikan 4 sampai dengan 5 juta PRT mayoritas perempuan, warga miskin dan penopang perekonomian nasional, sebagai warga yang terus menerus ditinggalkan, dipinggirkan, dan dianggap wajar mengalami kekerasan perbudakan,” kata Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jala PRT, Rabu, 15 Februari 2023.

Tanggal 15 Februari bertepatan dengan Hari PRT Nasional. Beberapa lembaga advokasi PRT menggelar aksi dengan desakan untuk pengesahan RUU PPRT. Aksi pun digelar di tujuh kota termasuk di depan gedung DPRD Jawa Barat yang diikuti beberapa organisasi masyarakat sipil.

Lita mengatakan, pemerintah sudah setuju dengan upaya percepatan pengesahan RUU PRT sejak 18 Januari 2023. Bahkan sebelumnya, pemerintah telah membentuk gugus tugas pada Agustus 2022.

Namun, ia prihatin dengan respons DPR yang menyatakan tidak perlu terburu-buru mengesahkan karena masih memerlukan kajian. Padahal, RUU PRT itu sudah sempat tertahan 2,5 tahun di Bamus (Badan Musyawarah) DPR, namun belum juga dibawa ke rapat paripurna.

“Padahal, satu hari penundaaan pengesahan RUU PPRT sama dengan membiarkan puluhan PRT korban berjatuhan dan hidup dalam kemiskinan yang berkelanjutan. Apakah hal ini tidak dianggap krisis? Apakah 1 korban tidak penting bagi DPR? Sementara, prinsip kekerasan adalah nirkekerasan. Apakah karena PRT, maka kasus kekerasan dianggap wajar?” kata Lita.

Menurut Deti Sopandi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Jawa Barat yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT, proses untuk terbitnya UU PPRT sudah berjalan 19 tahun yang merupakan pengajuan dari unsur masyarakat.

Selama itu juga, kondisi PRT tetap memprihatinkan. Mereka tidak mendapatkan pengakuan negara sebagai pekerja sehingga terus mengalami kekerasan dan menerima upah minim yang tidak layak.

“Sampai detik ini, belum ada pengakuan dari negara bahwa PRT adalah pekerja. Dengan disahkannya RUU PPRT menjadi UU, setidaknya ada pengakuan dari negara karena negara seharusnya melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-haknya. Dengan adanya aturan ini, negara sudah menghormati kelas pekerja rumah tangga, lalu bisa dilindungi,” katanya seusai aksi.

Ditambahkannya, UU ini sudah menjadi kebutuhan yang mendesak karena sampai saat ini masih banyak PRT yang diperlakukan sebagai budak. Satu hari penundaan dianggap sama dengan ada 11 PRT yang akan menjadi korban kekerasan.

Ia pun mengatakan, saat ini di Kota Bandung, memang belum ada organisasi yang mewadahi para PRT untuk berserikat. Organisasi itu dikatakannya penting supaya PRT bisa bersama-sama memperjuangkan haknya dan lebih cepat dalam mendapatkan informasi, serta berjejaring untuk bisa mendapatkan bantuan hukum.

Peringatan Hari PRT Nasional setiap tanggal 15 Februari memang dilatarbelakangi oleh tragedi tindak kekerasan kepada PRT. Tahun ini, 15 Februari 2023, merupakan momen mengenang tragedi 22 tahun yang lalu. Pada Februari 2001, seorang PRT di Surabaya meninggal dunia karena disiksa.

Sunarsih, PRT yang meninggal dunia, mengalami kelaparan dan disiksa oleh majikan atau pemberi kerjanya. Setelah Sunarsih, bermunculan ribuan wajah lain yang juga mengalami kekerasan.

Lita Anggraini mengatakan, kasus-kasus lain pun terus bermunculan selama 22 tahun ini. Ada Sutini yang disekap dan disiksa selama 6 tahun, Ani yang disekap dan disiksa 9 tahun, serta Nurlela yang disekap dan disiksa 5 tahun.

“Eni, Elok, Toipah, Rohimah, Khotimah, Rizki, dan Sunarsih-Sunarsih yang lain, yang merasa kelaparan dan kesakitan hingga berakibat pada berkurang atau tidak berfungsinya organ serta kehilangan nyawa,” ucapnya.

Kekerasan yang dialami antara lain pada aspek psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia.***

Sumber: Pikiran Rakyat

Leave a Reply

Your email address will not be published.